Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Surat Kabar Umum Bidik Kasus

Perwakilan Jambi Edi S
CV Bikas. Diberdayakan oleh Blogger.

edi s

selamat datang di blog BIKAS Jambi By Edi S

Batang Asai

Merambung Indah tempat wisata yang romantis bagi wisatawan

Rabu, 16 Maret 2011

Tahura, Sk Bupati dan Perizinan Pemda di duga menyalahi aturan



Muara Jambi-Penetapan status kawasan hutan di Indonesia diatur berdasarkan Tata
Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1992. TGHK mengatur status dan fungsi
kawasan hutan negara, diantaranya kawasan hutan untuk konservasi, yakni taman
nasional, cagar Biosfer, dan suaka margasatwa. Kawasan hutan untuk produksi,
yang dikenal sebagai Hutan Produksi (HP), seperti kawasan HP dan HP Terbatas.
Selanjutnya suatu kawasan hutan untuk fungsi lindung yaitu hutan lindung, hutan
lindung gambut, Taman Hutan Raya (Tahura) serta Areal Pemanfaatan Lain  (APL).

    Justru kesepakatan ini masih berlaku sampai sekarang. Namun negara dapat
memberikan kewenangan kepada gubernur untuk turut menetapkan kawasan hutan untuk

fungsi lindung dalam rencana tata ruang wilayahnya (tata ruang wilayah
propinsi).
Kawasan hutan negara dengan fungsi konservasi, lindung dan HP.  Pengelolaan dan
pemanfaatannya diatur pemerintah pusat berdasarkan UU No.41 tahun 1999 tentang
kehutanan. Sedangkan APL kewenangan pengaturannya diserahkan kepada pemda (baik
propinsi dan kabupaten).

Hal ini, selain diatur dalam UU No.41 tahun 1999 juga diatur dalam UU No.22
tahun 2002, jo UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang kemudian
direvisi menjadi UU No.38 tahun 2007 tentang pembagian kewenangan pemerintahan
antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah/walikota.
UU No.41 tentang kehutanan, juga mengatur mengenai prosedur pengajuan alih
fungsi lahan dari HP menjadi APL oleh pemda melalui pemerintah provinsi ke
Menteri Kehutanan. Tentu saja melalui kriteria, syarat dan prosedur yang benar.
Tanpa kelengkapan dan prosedur yang ditetapkan maka tidak akan pernah ada alih
fungsi lahan di dalam kawasan hutan negara.

Namun pada prakteknya, justru di Propinsi Jambi masih ditemukan berbagai
pelanggaran. Diantaranya kasus perijinan lahan untuk Kelompok Tani Jasa Indah
(KTJI) yang diterbitkan SK Bupati Batanghari No.593/0179/Bpem tertanggal 20
Januari 2006 di kawasan hutan Tahura Sultan Thaha Syaifuddin, Tahura Senami.
Bahkan saat ini, kasus yang sedang hangat dibicarakan yaitu kasus pembukaan
lahan untuk warga transmigrasi oleh Pemda Muaro Jambi di lokasi kawasan hutan
Tahura di Desa Sungai Aur, Kumpeh Ulu belum lama ini.
Pada kasus ijin KTJI, ketuanya M. Qosim. Dari hasil kajian Dinas Kehutanan
Propinsi Jambi bersama Dinas Kehutanan Batanghari 2007 lalu. Lahan seluas 75
hektar tersebut diduga berada di dalam kawasan Tahura Senami. Padahal hingga
saat ini belum ada permohonan tentang alih fungsi kawasan Tahura Senami menjadi
APL.

Patut diduga terjadi pelanggaran hukum, saat proses penerbitan ijinnya. Begitu
juga kasus yang terjadi di Tahura Sungai Aur, Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi..

Berdasarkan UU Pemda diatas, kewenangan untuk menetapkan lokasi yang akan
dijadikan sebagai lokasi transmigrasi ada di pemda.

Dengan kata lain, lokasi transmigrasi tersebut hanya bisa ditetapkan berdasarkan



SK Bupati. Atas dasar ketetapan dari pemda maka baru bisa dilakukan pengerjaan
kawasan, baik berupa land clearing maupun pembangunan pemukiman dan lahan
produksi di areal tersebut. Dengan demikian, patut diduga ini telah terjadi
pelanggaran hukum dalam proses perijinan kawasan transmigrasi itu.

Melihat perbandingan kedua kasus diatas, dijelaskan terdapat banyak sekali
kerawanan dalam proses perijinan pembukaan lahan di sekitar kawasan hutan
negara, termasuk Tahura. Perijinan yang salah tersebut, secara hukum tidak saja
merupakan kesalahan administrasi. Akan tetapi dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran pidana dan korupsi. Karena diduga pemda telah menerbitkan ijin di
dalam kawasan hutan negara yang bukan diluar kewenangannya.

Dikatakan korupsi karena pemda diduga telah menyalahgunakan kewenangannya untuk
menerbitkan perijinan secara tidak sah. Hal ini diatur dalam UU No.31 tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Selanjutnya apabila terbukti para
pihak dapat dijerat pidana sebagai pelaku perambahan dan pembalakan liar
(illegal logging). Sebab telah melakukan penebangan kayu dan sekaligus menguasai
kawasan hutan negara tanpa ijin yang sah sesuai dengan UU No. 41 tahun 1999,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Laman

Pengikut